Selasa, 24 Juli 2012

[Media_Nusantara] Mungkinkah Swasembada Kedelai?

 

Mungkinkah Swasembada Kedelai?
 
Siapa yang tak kenal tahu dan tempe? Hampir semua orang Indonesia mengenalnya. Bahkan sumber protein nabati ini indentik atau bahkan disematkan sebagai makanan tradisional atau local Indonesia, sekalipun patennya dipegang Negara lain.
 
Sebagai pangan yang dianggap local, asli Indonesia ternyata tempe sejatinya bukanlah makanan local jika dilihat dari sumber bahan bakunya. Namun tempe adalah pangan internasional. Betapa tidak lebih dari lebih dari 60% bahan bakunya didatangkan dari negera lain semisal Amerika, kanada, china, ukraina dan Malaysia.
 
Tingginya permintaan produk turunan kedelai ternyata tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Setiap tahun tidak kurang dari 2,4 juta ton kedelai di konsumsi masyarakat. Akibatnya, serbuan kedelai impor semakin deras membanjiri Indonesia. Data BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 sampai dengan tahun 2011, laju impor terus meningkat. Jika pada tahun 1990 impor kedelai hanya 541 ribu ton maka pada tahun 2011 mencapai 1,5 juta ton dengan nilai mencapai 5,9 triliun. Sementara produksi dalam negeri terus mengalami penurunan. Jika pada tahun 1990 produksi mencapai 1.4 juta ton maka pada tahun 2011 meluncur bebas menjadi 851 ribu ton.
 
Besarnya ketergantungan akan bahan baku impor membawa implikasi yang serius. Perubahan produksi di level dunia sedikit saja akan sangat berpengaruh pada stok dan tentu saja harga. Fenomena kegagalan panen di negera-negara eksportir pada tahun 2007-2008 atau kekeringan di Amerika serikat pada bulan ini telah berpengaruh pada peningkatan harga kedelai di dunia.
 
Peningkatan harga ini tentu saja menjadi pukulan telak, terutama bagi pengusaha tahu, tempe dan kecap. Harga yang melambung membuat ongkos produksi meningkat. Peningkatan produksi tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat. Akibatnya, para pengusaha ini merugi luar biasa. Dan seperti sebelum-sebelumnya, mogok produksi menjadi pilihan walaupun konsumen turut menjadi korban, dirugikan.
 
Benarkah kita akan swasembada?
 
Merujuk pada rencana pemerintah yang akan melakukan swasembada tanaman pangan strategis, salah satunya kedelai pada tahun 2014 menjadi pertanyaan besar apakah benar dapat dicapai?
 
Sedari awal target swasembada pada tahun 2014 telah diikrarkan sebagai bentuk keberhasilan pemerintah. Khusus untuk kedelai, hingga tahun 2014 diproyeksikan produksi kedelai dalam negeri mencapai 2,7 juta ton dengan laju peningkatan produksi mencapai 1.5 ton/ha dari sebelumnya yang hanya 1.3 ton/ha. Dari hitungan ini maka pada tahun 2014 terdapat surplus 137 ribu ton. Dengan jumlah ini maka impor diasumsikan tidak lagi diperlukan.
 
Dengan produksi tahun lalu yang hanya 851 ribu ton, Terdapat defisit produksi hingga 1,9 juta ton untuk mencapai 2.7 juta ton. Dengan waktu yang kurang dari tiga tahun defisit itu menjadi tantangan yang cukup berat. Dengan hitungan sederhana maka setiap tahun, produksi harus meningkat rata-rata 1.4 juta ton.
 
Target ini dirasa tidaklah realistis. Beberapa alasan dapat dikemukankan untuk hal ini antara lain: pertama, swasembada dicapai dengan mengasumsikan bahwa lahan yang dipakai untuk memproduksi setidaknya mencapai 1.7 juta ha. Untuk mencapai ini maka optimalisasi lahan kering dan rawa ditingkatkan selain lahan sawah. Persoalannya optimalisasi lahan kering dan rawa masih mengalami tantang luar biasa, selain terjadinya rebutan lahan dengan sector perkebunan juga daya dukung infrastruktur dna pembiayaan masih rendah.
 
Selama ini produksi kedelai ditumpukan pada lahan sawah yang biasanya digunakan pada saat jeda musim tanam padi. Lahan sawah sendiri saat ini terus mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan yang massive. BPS merilis setiap tahun rata-rata konversi sawah mencapai 110 ribu ha. Pada hal laju pencetakan sawah baru tidak lebih dari setengahnya setiap tahunnya. Hilangnya sawah berarti hilang pula lahan untuk tanaman kedelai.
 
Kedua, terget swasembada tiga tanaman pangan utama. Soal swasembada, pemerintah menargetkan pada tahun 2014, kebutuhan padi, jagung, dan kedelai dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Keinginan swasembada ini menjadi persoalan mengingat lahan yang digunakan adalah sama. Hingga saat ini, di lahan produktif yang ada selain padi bersaing pula kedelai dan jagung untuk ditanam. Menjadi tidak realistis ketika jagung dan kedelai diharapkan swasembad sementara lahan yang digunakan sama. Peningkatan produksi jagung, secara otomatis menurunkan produksi kedelai. Hal ini dapat dilihat dari data BPS, berdasar angka ramalan I tahun 2012, produksi jagung meningkat dari 17 juta ton padat tahun 2011 menjadi 18 juta ton tahun 2012. Sementara produksi kedelai mengalami penurunan, dari tahun 907 ribu ton tahun 2010 menjadi 851 ribu ton tahun 2011 dan diprediksikan 310 ribu ton.
 
Ketiga, tata niaga pasar. Selain lahan, persoalan lain yang dihadapi adalah adanya kecenderungan penurunan jumlah petani yang membudidayakan kedelai. Saat ini di jawa timur, yang merupakan salah satu lumbung kedelai Indonesia, sudah banyak petani yang beralih ke kacang hijau. Menurut petani hal ini dilakukan karena pasca panen dan tata niaga kacang hijau jauh lebih mudah dan menguntungkan. Harga kedelai dalam negeri terus mengalami tekanan oleh kedelai impor. Selama tahun 2011, bea masuk impor kedelai 0%. Situasi ini tentu saja memukul produk domestik yang berujung pada penurunan gairah para petani untuk menanam kedelai.  Menjadi naïf ketika swasembada didorong sementara keran impor dibuka lebar. Dukungan dalam bentuk insentif harga dan input sedikit sekali dilakukan.
 
Kedaulatan pangan
 
Fenomena kedelai memberikan bukti lain kepada kita bahwa negeri ini sudah sedemikian dalam masuk dalam jerat perdagangan pangan yang dilakukan perusahan transnasional dan negera maju. Pada level ini, Negara sudah dikalahkan pasar. Kedaulatan atas pangan tidak lagi dimiliki.
 
Pemerintah berdiri pada pilihan sulit ketika berhadapan dengan situasi ini. Satu sisi diharuskan menjaga ketersediaan pangan dengan membuka pasar kedelai impor pada sisi lain dipaksa memenuhi janjinya untuk swasembada. Padahal keduanya tidak akan pernah tercapai secara bersamaan.
 
Semestinya fakta ini memberikan kesadaran baru bagi kita bahwa menggantungkan suplai pangan dari negeri orang amat riskan. Tidak hanya terkait produksi dan harga juga soal mutu pangannya. Bukankah kita semua faham bawah kedelai produksi luar negeri terutama amerika serikat didominasi kedelai transgenic. Padahal soal transgenic hingga saat ini masih menjadi perdebatan serius terkait aspek etik dan keamanannya.
 
Sudah saatnya pemerintah terus berupaya terlepas dari ketergantungan, mengukuhkan kedaulatan atas pangan. Perbaikan tata niaga, insentif harga berupa peningkatan harga jual, untuk merangsang gairah petani kedelai dan regulasi proteksi produksi dalam negeri perlu secara nyata dilakukan. Pada sisi lain kepastian lahan produksi menjadi syarat wajib dilakukan. Mengacu pada faktor-faktor penentu keberhasilan produksi, lahan menempati proporsi terbesar. Sekurangnya 40% keberhasilan target produksi ditentukan oleh factor lahan. Karenanya pemerintah perlu secara tegas menentukan dan memperluas lahan produksi tidak hanya berpusat pada lahan sawah. [ ]

-----------------------------------------------------------------
Said "ayip" Abdullah
Officer Advokasi dan Jaringan
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Telp.: 081382151413
Fax : 0251 8423752
Email: ayip@kedaulatanpangan.net ,   koecluck@gmail.com

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar