Rabu, 25 Juli 2012

[Media_Nusantara] OPINI: Presiden Yang Terisolasi dari Persoalan Rakyat

 

OPINI: Presiden Yang Terisolasi dari Persoalan Rakyat
by Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
bambangsoesatyo@yahoo.com

FOKUS pada masalah politik kekuasaan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun terisolasi dari persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Juga aneh karena presiden senang dengan fakta-fakta yang menunjukan pemerintahannya tidak bersih.

Dua pernyataan Presiden SBY sepanjang pekan lalu membuat banyak orang bingung. Pertama, ketika presiden mengaku senang dengan terungkapnya kasus-kasus penyimpangan penggunaan anggaran yang melibatkan oknum eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR). Kedua, saat presiden mengimbau para menteri yang sibuk mengurusi partai politiknya untuk mundur dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II.

Pada saat bersamaan, rakyat sedang menghadapi kenyataan atau masalah yang sama sekali tidak menyenangkan. Utamanya adalah lonjakan harga kebutuhan pokok. Sementara di beberapa daerah, konflik berlatarbelakang perebutan lahan terus berlanjut. Konflik yang melibatkan warga versus aparat keamanan dan pemerintah, atau warga versus pemodal swasta. Dua isu ini dikedepankan media di Jakarta secara berkelanjutan. Sayang, tetap saja lolos dari perhatian presiden. Karena presiden sibuk mengelola politik kekuasaan, dia pun terisolir dari sejumlah persoalan yang sedang dihadapi rakyat.

Terlihat bahwa Presiden SBY dan para menterinya bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga tidak antisipatif. Lonjakan harga sembako selalu terjadi menjelang puasa dan Lebaran. Sebelum Juli tahun ini, presiden mestinya memerintahkan Menteri koordinator perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian hingga Kepala Banda Uruisan Logistik (Bulog) untuk mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang bulan Ramadhan. Namun, tindakan atau langkah antisipatif tidak juga dilakukan sehingga lonjakan harga pun tak terelakan. Alih-alih prihatin dengan masalah ini, ada menteri yang menilai lonjakan harga saat ini sebagai hal yang wajar karena memberi kenikmatan kepada petani.

Pemerintah seperti tidak punya nyali untuk melakukan intervensi pasar. Sebab, setiap kali lonjakan harga di angkat sebagai persoalan, para menteri seperti ingin mengalihkan masalah dengan mengatakan pasokan dan stok dalam posisi aman. Lalu, dimunculkan janji untuk melakukan operasi pasar. Janji itu tidak efektif karena hingga awal Ramadhan tahun ini, harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok justru terus meroket.

Sementara itu, konflik berlatarbelakang perebutan lahan terus mengalami eskalasi. Sepanjang periode Januari - Juni 2012, luas lahan yang diperebutkan mencapai 377.159 hektar dalam 101 kasus, melibatkan sekitar 25.000 kepala keluarga di seluruh Indonesia. Dalam konteks berbisnis atau berusaha, rentetan konflik lahan di sektor pertambangan, perkebunan dan sektor kehutanan sudah barang tentu akan melahirkan pertanyaan seputar masalah kepastitan hukum.

Di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, konflik lahan di area perkebunan tebu Cinta Manis terus berlanjut. Setelah warga dari 17 desa membakar lahan tebu, emosi warga kembali diletupkan dengan cara membakar rumah karyawan PTPN VII. Sementara di pulau Padang, tidak kurang dari 200 warga mendatangi kawasan Senalit, Desa Lukit, karena PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) melakukan penanaman bibit akasia. Padahal, Kementerian Kehutanan sudah memerintahkan perusahaan itu untuk menghentikan operasinya, karena konflik yang belum terselesaikan. Warga Pulau Padang akan terus melancarkan protes terhadap pemerintah yang mengabaikan persoalan di pulau itu.

Kalau publik melihat dua masalah di atas sebagai persoalan yang sangat serius, Presiden dan jajaran anggota kabinetnya barangkali mempersepsikan dua masalah itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Itu sebabnya, presiden tidak merasa perlu memberikan respons yang segera dan signifikan. Tentu saja sikap presiden seperti itu sulit dipahami, mengingat dua masalah itu sangat strategis. Lonjakan harga sembako berkait dengan perut lebih dari 100 juta warga negara, sementara persoalan konflik lahan berdimensi lebih luas. Mulai dari aspek kepastian hukum dalam berbisnis, prospek perekonomian rakyat di atas lahan yang disengketakan, aspek keamanan hingga potensi konflik berdarah dengan jatuhnya korban jiwa.

Peduli dan Tegas

Benar bahwa para pembantu presiden seharusnya sigap bergerak untuk mereduksi dan menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Akan tetapi, manakala persoalannya terus tereskalasi atau berulang, presiden tentu saja tidak bisa tinggal diam. Minimal, kepada para pembantunya, presiden mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, bahkan kalau perlu menghardik. Kalau menteri atau pejabat setingkat menteri kesulitan menyelesaikan persoalan-persoalan itu, tidak ada salahnya presiden turun tangan langsung. Sebab, dalam praktiknya, memang tidak semua persoalan bisa diselesaikan oleh seorang menteri. Apalagi jika persoalannya mencakup kewenangan lintas sektor.

Muncul dugaan atau kekhawatiran bahwa pemerintahan sekarang ini tidak fokus mengurusi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Itu sebabnya, antara suara atau aspirasi rakyat dengan respons pemerintah sering kali tidak nyambung. Ketika rakyat mengeluhkan lonjakan harga sembako, Presiden justru menunjukan kepedulian pada isu lain. Tidak berarti presiden melakukan kekeliruan, tetapi presiden dengan sendirinya paham apa yang seharusnya diprioritaskan.

Wajar jika presiden memberi perhatian terhadap pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan pemanfaatan anggaran pembangunan. Namun, merasa senang atas pengungkapan kasus-kasus itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Pengungkapan sejumlah kasus penyimpangan penggunaan anggaran pembangunan itu seharusnuya membuat presiden prihatin. Sebab, pengungkapan kasus-kasus itu menjadi bukti kalau pemerintahannya tidak bersih. Keinginannya mewujudkan good governance di ambang kegagalan. Sebagai kepala pemerintahan di republik ini, Presiden SBY seharusnya prihatin.

Bahkan, karena penyimpangan anggaran itu melibatkan oknum pejabat pemerintah, Presiden seharusnya pro aktif. Ambil contoh pada kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Proses penganggaran proyek Hambalang yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih. Presiden seharusnya merasa dipermalukan oleh skandal ini. Kabinetnya layak dinilai amatiran. Jika ada kementerian yang berani merealisasikan sebuah proyek tanpa mengikuti mekanisme penganggaran yang benar, berarti menteri bersangkutan terang-terangan melanggar undang-undang. Tak elok jika Presiden tidak meminta pertanggungjawaban dari menteri bersangkutan.
Presiden juga terlihat lemah dan tidak tegas ketika hanya bisa mengimbau para menteri untuk mundur dari kabinet jika sibuk mengurusi partai. Imbauan itu, boleh jadi, mengacu pada data atau informasi yang ada di tangan presiden. Bukankah presiden berbicara harus berdasarkan data? Maka, kalau ada menteri yang tidak bisa berkonsentrasi menjalankan tugasnya, presiden punya hak prerogatif untuk memberhentikan menteri bersangkutan. Jadi, cukup menggunakan hak yang satu itu dengan tegas dan lugas. Sebab, sekali lagi, imbauan atau saran tidak akan bisa menyelesaikan persoalan.

Imbauan presiden SBY terhadap para menteri itu justru dikembangkan sebagai lelucon di ruang publik. Kalau menteri yang sibuk mengurusi partai diimbau oleh presiden untuk mundur dari kabinet, apa konsekuensinya jika seorang presiden pun sibuk mengurusi partainya sendiri? Harus mundur juga dari jabatan presiden?

Sebagai pemimpin, SBY wajib memberi contoh. Imbauan itu seperti pepatah 'Menepuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri'. Publik tahu bahwa Presiden masih menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan tokoh sentral partai itu. Tentu saja, presiden tidak bisa menyalahkan para menteri jika ada di antara mereka yang masih bisa mengurusi partai di waktu luang.

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar